
Sikap pasangan yang gemar 'mencari hiburan di luar' inilah yang menjadi kontributor utama meningkatnya angka perceraian sekarang ini. Namun, pohon tidak akan bergoyang jika tidak ada angin: Perkembangan industri seks di beberapa negara turut menjadi penyebab kaum pria rentan dalam kehidupan seks bebas.
1 Thailand
Thailand sering dipersepsikan dunia internasional sebagai negara yang terbuka terhadap isu seksualitas. Namun, di balik citra tersebut, budaya seks di Thailand sebenarnya terbentuk dari perpaduan kompleks antara nilai tradisional, ajaran agama Buddha, pengaruh modernisasi, serta dinamika ekonomi dan pariwisata.
Thailand telah begitu tenar namanya sebagai sebuah negara yang banyak didatangi wisatawan dari seluruh dunia yang ingin berbelanja. Ya, di Thailand Anda bisa mendapatkan berbagai barang, terutama fashion item dengan harga jauh lebih murah.
Namun, selain karena wisata belanjanya, para turis biasanya tidak akan melewatkan hiburan panas legal yang ditawarkan Negeri Gajah Putih yang satu ini. kali ini Saya berkesempatan mengunjungi salah satu tempat wisata malamThailand, yaitu Patpong atau biasa dikenal dengan istilah red light district di Bangkok.
Secara budaya, masyarakat Thailand menjunjung tinggi kesopanan dan keharmonisan sosial.

Ajaran Buddha Theravada yang dominan menekankan pengendalian diri, karma, dan keseimbangan hidup. Dalam konteks keluarga tradisional, topik seks masih dianggap sebagai hal pribadi dan jarang dibicarakan secara terbuka, terutama di lingkungan pedesaan. Norma ini menuntut sikap sopan, khususnya bagi perempuan, meskipun praktik sosialnya tidak selalu sejalan dengan nilai tersebut.
BACA JUGA :
- 'Kami adalah fasis sialan' — Memoar Pussy Riot mengulas semua hal yang salah tentang Rusia
- Moskow akan menggunakan suara wilayah pendudukan sebagai senjata melawan pemilu Ukraina — Zelenskyy
- CNN: Eropa khawatir akan hasil pertemuan Zelenskyy dan Trump yang tidak terduga
Di sisi lain, modernisasi dan globalisasi telah membawa perubahan signifikan, terutama di kawasan perkotaan seperti Bangkok, Pattaya, dan Phuket. Paparan media global, industri hiburan, serta arus wisatawan asing memengaruhi cara pandang generasi muda terhadap hubungan, cinta, dan seksualitas. Diskusi tentang pendidikan seks, kesehatan reproduksi, dan orientasi seksual mulai lebih diterima di ruang publik, meski masih menuai perdebatan.
Salah satu aspek yang sering disorot adalah industri hiburan dewasa yang berkembang di beberapa wilayah wisata. Fenomena ini lebih berkaitan dengan faktor ekonomi dan pariwisata dibandingkan dengan representasi nilai budaya Thailand secara keseluruhan.

Thailand juga dikenal relatif terbuka terhadap keberagaman gender. Komunitas transgender, yang dikenal sebagai kathoey, memiliki visibilitas tinggi dalam kehidupan sosial dan media. Meski penerimaan sosial cukup luas, tantangan hukum dan kesetaraan hak masih menjadi isu yang terus diperjuangkan.
Terletak tepat di antara Siloam Road dan Surawong Road ,oleh keluarga yang memiliki sebagian besar area di sana bernama Patpongpanich, jadilah daerah wisata ini diberi julukan Patpong.
Di Patpong, Anda akan menemukan banyak bar menawarkan hiburan 'panas'. Baru saja sampai, sudah ramai disambut oleh beberapa calo yang menawarkan masuk ke dalam bar-nya. Semua calo tersebut membawa kertas yang berisi daftar harga masing-masing pertunjukkan yang bisa dilihat.

Dengan rata-rata 45 dari 10 ribu orang wanitanya memilih karir sebagai pelacur, Thailand memang cocok dijuluki surga seks tidak hanya bagi wisatawan luar, bahkan juga pria Malaysia.
Pemerintah dan organisasi masyarakat sipil di Thailand aktif mempromosikan pendidikan kesehatan seksual, pencegahan penyakit menular, serta kampanye kesadaran publik. Upaya ini menunjukkan pendekatan pragmatis dalam menghadapi realitas sosial, tanpa sepenuhnya meninggalkan nilai tradisional.
Rata-rata wisatawan terkonsentrasi di bagian Patpong di Bangkok, yang dikatakan daerah terbaik untuk berlangganan pelacur-pelacur muda dan cantik dengan harga yang tidak terlalu mahal.
Bahkan, Thailand juga terkenal dengan PSK waria dan pria gay. Meskipun prostitusi sebenarnya ilegal di Thailand, namun kegiatan itu diperbolehkan asalkan peraturan dilakukan serta pekerja seksnya mendapatkan tes infeksi kelamin
Secara keseluruhan, budaya seks di Thailand tidak dapat disederhanakan sebagai “bebas” atau “tertutup”. Ia merupakan hasil negosiasi berkelanjutan antara tradisi, agama, modernitas, dan kebutuhan ekonomi. Memahami konteks ini membantu melihat Thailand secara lebih utuh, adil, dan berimbang.
2 Vietnam

Budaya seks di Vietnam terbentuk dari perpaduan panjang antara nilai tradisional Konfusianisme, pengaruh kolonial, serta dinamika modernisasi yang berkembang pesat dalam beberapa dekade terakhir. Masyarakat Vietnam secara historis menjunjung tinggi norma kesopanan, kehormatan keluarga, dan tanggung jawab sosial, sehingga isu seksualitas sering kali dianggap sebagai ranah privat yang tidak dibicarakan secara terbuka.
Dalam tradisi Konfusianisme, hubungan antara pria dan wanita diatur oleh nilai moral yang ketat. Seks dipandang sebagai bagian dari pernikahan dan kewajiban keluarga, bukan sebagai ekspresi individual semata. Keperawanan perempuan sebelum menikah memiliki makna sosial yang kuat, sementara hubungan di luar pernikahan cenderung dipandang negatif. Nilai-nilai ini masih berpengaruh, terutama di wilayah pedesaan dan generasi yang lebih tua.

Namun, Vietnam modern mengalami perubahan sosial yang signifikan. Pertumbuhan ekonomi, urbanisasi, serta keterbukaan terhadap budaya global telah memengaruhi cara pandang generasi muda terhadap hubungan romantis dan seksualitas. Di kota-kota besar seperti Hanoi dan Ho Chi Minh City, diskusi tentang hubungan pranikah, pendidikan seks, dan kesehatan reproduksi mulai lebih terbuka, meskipun tetap dibatasi oleh norma sosial tertentu.
Saat kita berdiri di tepi jalan, khususnya di sekitar hotel atau penginapan, kita pun disodori beragam jasa pelayanan seks. Jasa ini berkedok pelayanan pijat. Pantauan di kawasan ini, mereka tampak mejeng di sejumlah salon yang hampir ditemukan di setiap jalan. Sementara para turis, menikmati kopi, bir, atau minuman keras lainnya di sejumlah cafe.



Pendidikan seks di Vietnam masih menjadi topik yang berkembang. Selama bertahun-tahun, informasi mengenai seks dan kesehatan reproduksi terbatas, sehingga banyak remaja memperoleh pengetahuan dari internet atau lingkungan pergaulan. Pemerintah dan organisasi non-pemerintah kini mulai mendorong program edukasi yang menekankan pencegahan penyakit menular seksual, kehamilan tidak direncanakan, serta pentingnya tanggung jawab dalam hubungan.

Dalam hal keberagaman gender dan orientasi seksual, Vietnam menunjukkan perkembangan yang cukup progresif dibandingkan beberapa negara di kawasan. Meskipun pernikahan sesama jenis belum diakui secara hukum, hubungan sesama jenis tidak lagi dikriminalisasi, dan penerimaan sosial perlahan meningkat, terutama di kalangan generasi muda dan masyarakat perkotaan.
Para turis ini tentu saja menjadi sasaran guide pelayanan seks. Jika kita tertarik, si guide pun langsung menjelaskan jasa dapat berupa pelayanan seks. Harganya pun yang semula 300 ribu Dong atau Rp 150 ribu, naik menjadi 800 ribu-1 juta Dong atau Rp 400-500 ribu per jam.
Lokasi pelayanan ini dapat diberikan di kamar yang berada di salon, atau langsung dibawa ke hotel atau penginapan.
Para guide seks ini pun cukup beragam. Mulai dari lelaki dan perempuan tua yang nongkrong di pinggir jalan, remaja putri naik sepeda menawarkan jasa tersebut, hingga si pelayan seks sendiri yang keliling naik sepeda motor.

Bahkan, ada guide yang sepanjang hari nongkrong di sudut jalan buat menawarkan para turis yang lewat. Guide ini umumnya perempuan muda dengan kemampuan Bahasa Inggris seadanya.
"Menjadi pekerja seks merupakan cara yang cepat menjadi kaya. Penghasilan Rp 400 ribu semalam, sudah dari cukup buat hidup. Tidak heran, para pekerja seks di sini memiliki sebuah sepeda motor yang di sini merupakan barang mewah," kata seorang warga Vietnam
Secara keseluruhan, budaya seks di Vietnam berada dalam fase transisi. Nilai-nilai tradisional masih kuat membentuk norma sosial, namun modernisasi mendorong keterbukaan dan diskusi yang lebih rasional mengenai seksualitas. Perubahan ini mencerminkan upaya masyarakat Vietnam untuk menyeimbangkan warisan budaya dengan realitas kehidupan modern yang terus berkembang.
3.China ( Guang Dong)

Budaya seks di Tiongkok dibentuk oleh sejarah panjang, filosofi klasik, serta perubahan sosial yang sangat cepat dalam beberapa dekade terakhir. Secara tradisional, pandangan terhadap seksualitas dipengaruhi kuat oleh ajaran Konfusianisme yang menekankan moralitas, keharmonisan keluarga, dan pengendalian diri. Dalam kerangka ini, seks diposisikan sebagai bagian dari kewajiban pernikahan dan kelangsungan garis keturunan, bukan sebagai ekspresi individual yang terbuka.
Dalam masyarakat Tiongkok tradisional, pembicaraan mengenai seks dianggap tabu dan tidak pantas dilakukan di ruang publik. Nilai kesopanan dijunjung tinggi, terutama bagi perempuan, yang diharapkan menjaga kehormatan keluarga. Hubungan pranikah dan perilaku seksual di luar pernikahan secara sosial dipandang negatif, meskipun praktiknya tidak selalu sejalan dengan norma tersebut.
Memasuki era modern, terutama sejak reformasi ekonomi pada akhir abad ke-20, pandangan terhadap seksualitas di Tiongkok mulai mengalami pergeseran. Urbanisasi, pendidikan tinggi, serta pengaruh budaya global melalui internet dan media sosial membuka ruang diskusi yang lebih luas mengenai hubungan, cinta, dan identitas seksual. Generasi muda di kota-kota besar seperti Beijing, Shanghai, dan Guangzhou cenderung memiliki pandangan yang lebih terbuka dibandingkan generasi sebelumnya.Semakin berevolusi budaya China, menyebabkan semakin berevolusinya kegiatan seksual di negara ini. Ingin bukti? Hanya dalam tempo 8 tahun, 5000 toko penyedia perlengkapan dan kebutuhan seks telah berdiri dan hanya berdiri di satu kota, yaitu Beijing.

Ditambah China memiliki SEXPO, dimana warga China datang untuk memeriksa perlengkapan seksnya. 70% produk seks dunia adalah buatan China, Untuk hal-hal yang telah disebutkan maka China masuk dalam daftar.
Nama kota di China ini adalah Dongguan. Kota di Provinsi Guangdong itu dijuluki “kota seks”, karena rata-rata satu pria memiliki tiga pacar perempuan atau lebih.
Fenomena itu dianggap warga Dongguan sebagai hal wajar, karena jumlah populasi perempuan di kota itu lebih banyak ketimbang jumlah pria. Ketidakseimbangan jumlah populasi itu tak lepas dari “kebijakan satu anak” yang ditetapkan Pemerintah China selama bertahun-tahun.

Pendidikan seks di Tiongkok masih menghadapi tantangan. Kurikulum formal cenderung terbatas dan berfokus pada aspek biologis, sementara pembahasan mengenai hubungan emosional, persetujuan, dan kesehatan mental masih kurang. Akibatnya, banyak remaja mencari informasi secara mandiri melalui sumber digital, yang tidak selalu akurat. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah dan akademisi mulai menyadari pentingnya pendidikan seks yang lebih komprehensif, meski penerapannya masih bertahap.
Dalam hal keberagaman gender dan orientasi seksual, Tiongkok menunjukkan perkembangan yang kompleks. Homoseksualitas tidak lagi diklasifikasikan sebagai gangguan mental, namun penerimaan sosial dan perlindungan hukum masih terbatas.
Banyak individu LGBTQ+ memilih bersikap tertutup demi menjaga keharmonisan keluarga dan menghindari tekanan sosial.Ketidakseimbangan jumlah populasi pria dan wanita itu, membuat banyak pabrik lebih mempekerjakan kaum hawa. Sedangkan kaum Adam memilih pekerjaan sepele dan santai, yang menghamburkan banyak waktu dengan sia-sia.
Dengan waktu yang lebih itu, para pria di kota itu bisa membagi waktu untuk bersama dengan pacar yang jumlahnya lebih dari satu. Fenomena ini diulas stasiun televisi lokal di China.
“Di sini jauh lebih mudah untuk mencari pacar ketimbang pekerjaan,” kata seorang pria Dongguan yang diwawancarai stasiun televisi.
Li Bin, seorang pekerja pabrik migran asal wilayah barat daya Provinsi Sichuan, mengatakan: ”Saya punya tiga pacar, dan mereka semua tahu tentang satu sama lain. Banyak teman-teman saya juga memiliki banyak pacar,”

“Ada begitu banyak pekerja muda dan perempuan naif di kota ini. Jadi, mengapa tidak memiliki lebih dari satu jika kita bisa, semua orang di sini untuk bersenang-senang, jika Anda tidak melakukannya, orang lain akan (mencibirnya).”
Menurut Li Bin, akan jadi lelucon jika seorang pria untuk hanya memiliki satu pasangan wanita. A Yi, 25, warga asli Sichuan, mengatakan bahwa dia pergi ke Dongguan untuk mencari seorang istri. Dia mengaku sudah menyiapkan mas kawin dan biaya pernikahan dalam jumlah besar di kampung halamannya.
“Ada banyak wanita di Dongguan, dan mereka tidak ingin uang, mereka hanya ingin seorang pria,” katanya. A Yi, yang saat ini menganggur mengaku mempunyai pacar untuk membantu membayar tagihan utangnya.
Menurut Layanan Informasi dan Hak-Hak Perempuan Guadong, perempuan di Dongguan pura-pura tidak tahu tentang temannya yang lain atau mengabaikan keberadaan mereka. Padahal, beberapa dari mereka bekerja di satu pabrik yang sama. Menurut layanan itu, perempuan di Dongguan tidak keberatan berbagi cinta ketimbang hidup kesepian.
Secara keseluruhan, budaya seks di Tiongkok berada dalam proses transisi yang dinamis. Nilai tradisional masih kuat memengaruhi norma sosial, namun modernisasi dan keterbukaan informasi mendorong perubahan cara pandang masyarakat. Perpaduan antara warisan budaya dan realitas kehidupan modern ini menjadikan budaya seks di Tiongkok sebagai fenomena yang kompleks dan terus berkembang.
4. Jepang

Budaya seks di Jepang sering dipandang unik karena memperlihatkan kontras yang kuat antara nilai tradisional, ekspresi budaya populer, dan perubahan sosial modern. Secara historis, masyarakat Jepang dipengaruhi oleh ajaran Shinto dan Buddha, yang memandang seks sebagai bagian alami dari kehidupan manusia, bukan semata-mata sebagai hal yang tabu. Dalam konteks ini, seks tidak selalu dikaitkan dengan dosa, melainkan dengan keseimbangan dan keharmonisan hidup.
Pada masa Jepang tradisional, terutama di era Edo, ekspresi seksual tercermin dalam seni, sastra, dan kehidupan sosial, termasuk keberadaan distrik hiburan resmi. Namun, seiring modernisasi dan pengaruh Barat pada era Meiji, pandangan terhadap seks mulai berubah. Norma kesopanan publik diperketat, dan pembahasan mengenai seks semakin dibatasi dalam ruang privat. Pola pikir ini masih memengaruhi masyarakat Jepang hingga saat ini.

Memang seks di Jepang bukanlah hal yang tabu. Kalau kita mengetikkan keyword sex in Japan di wikipedia, kita akan menemukan berbagai sejarah aneh tentang seks di jepang. Bagi penduduk di Jepang, perawan ketika malam pertama pernikahan adalah sangat memalukan bagi mereka yang menikah di usia lebih dari 20 tahun.
Artinya mereka benar-benar tipe level bawah dalam pergaulan mereka. Hal ini bukan hanya terjadi baru-baru ini, tetapi sudah sejak zaman-zaman kerajaan Jepang di masa lampau. Dahulu semua perempuan diberikan kepada prajurit-prajurit Jepang untuk dijadikan pelampiasan nafsu mereka dan orangtua merekapun rela untuk itu. Jangan heran ketika zaman penjajahan Jepang dulu banyak perempuan Indonesia yang kehilangan keperawanan oleh tentara Jepang.

Di beberapa sumber juga telah dicantumkan, bahwa Gadis/ Cewe di jepang yang berada pada masa remaja sudah tidak perawan? Sebagai contohnya saya ambil dari berbagai sumber yang saya dapat
Sebanyak 94 % wanita di Jepang saat Ini sudah bukan perawan lagi .
78 % pria di Jepang tidak ingin berteman dengan anak laki-laki yang masih perjaka .
75 % pria Jepang rata-rata 3-4 kali memerawanin perempuan dalam hidupnya 67 % hubungan sex SMA di jepang dikenal / sepengetahuan oleh orang tua mereka .
56 % dari wanita Jepang melepas keperawanannya pada saat sekolah baru SMA.
40 % dari wanita Jepang memberikan keperawanannya kepada temannya bukan kepada pacarnya .
34 % Seks di Jepang adalah incest ( incest ) hubungan sedarah
. 6 % wanita di Jepang masih perawan karena alasan seperti kurangnya kekurangan fisik atau kurang cantik

Dalam kehidupan modern, budaya seks di Jepang menunjukkan paradoks yang menarik. Di satu sisi, masyarakat dikenal cenderung tertutup dalam membicarakan seks secara langsung, terutama dalam konteks keluarga atau pendidikan formal. Pendidikan seks di sekolah lebih berfokus pada aspek biologis dan kesehatan, sementara diskusi tentang relasi emosional dan komunikasi intim relatif terbatas. Di sisi lain, Jepang memiliki industri hiburan dewasa dan budaya populer yang sangat berkembang, yang sering menjadi sorotan dunia internasional.
BACA JUGA : Rusia meluncurkan 559 serangan ke Ukraina saat Zelenskyy menyatakan respons nyata Putin terhadap perundingan perdamaian
Jujur saja , saya tidak begitu percaya dengan hal tersebut, mengingat pihak dari media Berita online apakah memang benar benar melakukan Survey ke setiap pemuda pemudi di jepang dan menghasilkan hasil diatas? Serasa begitu hoax rasanya , Walaupun ada kemungkinan survey diatas memang benar
Ada pula Fakta yang mengatakan bahwa warga warga di jepang merayakan hari hari kristen/katolik seperti hari raya Natal, walaupun sebenarnya mereka tidak berasal dari Agama tersebut. mereka hanya ikut merayakan hari raya besar tersebut bersama.

Fenomena ini tidak selalu mencerminkan perilaku seksual masyarakat secara umum. Banyak penelitian menunjukkan bahwa generasi muda Jepang justru mengalami penurunan minat terhadap hubungan romantis dan seksual, yang sering dikaitkan dengan tekanan kerja, gaya hidup urban, serta perubahan nilai terhadap pernikahan dan komitmen jangka panjang. Istilah seperti konkatsu (aktivitas mencari pasangan) muncul sebagai respons sosial terhadap menurunnya angka pernikahan dan kelahiran.
Dalam hal keberagaman gender dan orientasi seksual, Jepang menunjukkan perkembangan yang bertahap. Meskipun pernikahan sesama jenis belum diakui secara nasional, penerimaan sosial terhadap komunitas LGBTQ+ perlahan meningkat, terutama di kota-kota besar. Beberapa pemerintah daerah bahkan mulai memberikan pengakuan kemitraan simbolis sebagai bentuk dukungan sosial.
Secara keseluruhan, budaya seks di Jepang mencerminkan keseimbangan yang rumit antara tradisi, modernitas, dan realitas sosial. Ia tidak dapat dipahami hanya dari satu sudut pandang, melainkan sebagai hasil dari sejarah panjang dan dinamika masyarakat yang terus berubah.
5. Denmark

Denmark dikenal sebagai salah satu negara paling liberal di dunia dalam memandang seksualitas. Budaya seks di negara Nordik ini berkembang seiring dengan nilai-nilai keterbukaan, kebebasan individu, serta kepercayaan tinggi terhadap pendidikan dan tanggung jawab sosial. Seks tidak diposisikan sebagai topik tabu, melainkan sebagai bagian alami dari kehidupan manusia yang perlu dipahami secara sehat dan rasional.
Salah satu fondasi utama budaya seks di Denmark adalah pendidikan seks yang komprehensif. Sejak usia sekolah dasar, anak-anak diperkenalkan pada pendidikan seks yang mencakup aspek biologis, emosional, relasi sosial, persetujuan, dan kesehatan reproduksi. Pendekatan ini bertujuan membangun pemahaman yang realistis dan bertanggung jawab, bukan sekadar melarang atau menakut-nakuti. Akibatnya, masyarakat Denmark cenderung memiliki sikap dewasa dalam menyikapi hubungan dan seksualitas.

Seks adalah sesuatu yang sangat organik di Denmark sehingga rakyatnya langsung tidak merasa malu dengan kegiatan itu. Ketika seks bebas menjadi suatu norma, maka tidak heran ibu negaranya yaitu Kopenhagen menjadi tujuan pelacongan seks yang berkembang pesat.
Toko-toko menjual alat seks dibuka secara terang-terangan di daerah kekeluargaan, dan rumah pelacuran yang menampilkan pekerja seksnya dalam kondisi menggairahkan menjadi satu pandangan umum di negara Skandinavia itu
Keterbukaan ini juga tercermin dalam kehidupan sosial sehari-hari. Diskusi tentang hubungan, orientasi seksual, dan kesehatan seksual dapat dilakukan secara terbuka tanpa stigma berlebihan. Hubungan pranikah diterima secara sosial, dan seks dipandang sebagai pilihan personal yang harus didasarkan pada persetujuan serta rasa saling menghormati. Norma ini berlaku setara bagi laki-laki dan perempuan, mencerminkan kuatnya prinsip kesetaraan gender di Denmark.

Dalam konteks keluarga dan pernikahan, masyarakat Denmark tidak selalu memandang pernikahan sebagai satu-satunya bentuk hubungan yang sah. Banyak pasangan memilih hidup bersama tanpa ikatan pernikahan formal, dan pilihan ini diterima secara sosial maupun hukum. Fokus utama bukan pada status, melainkan pada kualitas hubungan, kejujuran, dan tanggung jawab bersama.
Denmark juga dikenal progresif dalam hal keberagaman gender dan orientasi seksual. Hak-hak komunitas LGBTQ+ dilindungi secara hukum, dan pernikahan sesama jenis telah dilegalkan. Penerimaan sosial yang luas membuat individu dapat mengekspresikan identitasnya dengan relatif aman dan terbuka, baik di ruang publik maupun privat.

Meski demikian, budaya seks yang terbuka tidak berarti tanpa tantangan. Isu seperti kesehatan mental, batasan personal, dan dampak media digital tetap menjadi perhatian. Pemerintah dan masyarakat sipil terus mendorong dialog terbuka agar kebebasan berjalan seiring dengan tanggung jawab.
Secara keseluruhan, budaya seks di Denmark mencerminkan keseimbangan antara kebebasan individu, pendidikan yang kuat, dan nilai kesetaraan. Pendekatan ini menjadikan seksualitas sebagai bagian dari kehidupan yang sehat, sadar, dan bermartabat.
6 Italy

Budaya seks di Italia terbentuk dari perpaduan panjang antara nilai keagamaan, sejarah sosial, serta karakter masyarakat yang ekspresif dan komunikatif. Sebagai negara dengan pengaruh Gereja Katolik yang kuat, Italia secara tradisional memandang seksualitas dalam kerangka moral dan keluarga. Seks idealnya ditempatkan dalam institusi pernikahan dan dikaitkan erat dengan tanggung jawab serta nilai kesucian.
Dalam masyarakat Italia tradisional, topik seks kerap dianggap sebagai hal pribadi dan sensitif, terutama di lingkungan keluarga. Norma sosial menekankan pentingnya kehormatan, khususnya bagi perempuan, dan hubungan pranikah dulunya dipandang tidak pantas. Pengaruh ini masih terasa kuat di wilayah pedesaan dan di kalangan generasi yang lebih tua.

Namun, Italia modern menunjukkan dinamika yang berbeda. Sejak paruh kedua abad ke-20, modernisasi, urbanisasi, serta pengaruh budaya global telah mengubah cara pandang masyarakat terhadap hubungan dan seksualitas. Di kota-kota besar seperti Roma, Milan, dan Naples, sikap terhadap hubungan pranikah menjadi lebih fleksibel dan diterima secara sosial, meskipun tetap disertai nilai emosional dan komitmen.
Italia adalah sebuah negara yang kaya dengan sejarah dan nilai budaya yang telah ada sejak ribuan tahun lampau. Namun, budaya yang hijau tidak selalu menerjemahkan keelokkan moral masyarakatnya.

Karakter masyarakat Italia yang terbuka dan ekspresif sering tercermin dalam cara mereka mengekspresikan cinta dan ketertarikan. Bahasa tubuh, gaya komunikasi, dan romantisme menjadi bagian penting dalam hubungan antarindividu. Meski demikian, ekspresi ini lebih menekankan aspek emosional dan relasional dibandingkan pembahasan seksual secara eksplisit di ruang publik.
Pendidikan seks di Italia berkembang secara bertahap dan tidak sepenuhnya seragam. Kurikulum pendidikan sering kali menekankan aspek biologis dan kesehatan reproduksi, sementara diskusi mengenai relasi, persetujuan, dan dinamika emosional masih sangat bergantung pada kebijakan sekolah dan peran keluarga. Organisasi masyarakat sipil berperan penting dalam melengkapi edukasi seksual, terutama bagi remaja.

Dalam konteks keberagaman gender dan orientasi seksual, Italia menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan, meskipun tidak tanpa perdebatan. Hubungan sesama jenis telah diakui secara hukum melalui kemitraan sipil, dan penerimaan sosial perlahan meningkat, terutama di kalangan generasi muda. Namun, pengaruh nilai religius membuat diskursus ini tetap menjadi isu sensitif di sebagian masyarakat.
Secara keseluruhan, budaya seks di Italia mencerminkan proses negosiasi antara tradisi dan modernitas. Nilai keluarga dan agama masih memegang peranan penting, tetapi perubahan sosial mendorong masyarakat untuk memandang seksualitas secara lebih terbuka, manusiawi, dan kontekstual sesuai dengan perkembangan zaman.
7 Jerman

Budaya Telanjang di Jerman: Dari Tradisi hingga Norma Sosial
Di Jerman, fenomena public nudity — terutama yang dikenal sebagai Freikörperkultur (FKK) — bukan sekadar perilaku sesaat, melainkan bagian dari sejarah sosial yang panjang. Freikörperkultur secara harfiah berarti “budaya tubuh bebas”, sebuah gerakan yang menekankan hubungan alami antara tubuh manusia dan lingkungan, serta kebebasan dari stigma tubuh.
Gerakan FKK muncul pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 sebagai respons terhadap industrialisasi dan kehidupan urban yang dianggap menjauhkan manusia dari alam. Pendukung awal melihat telanjang bukan sebagai tindakan yang vulgar, tetapi sebagai wujud kesederhanaan, kesehatan, dan kebebasan. Kelompok ini tumbuh pesat sebelum Perang Dunia II dan terus berlanjut setelahnya, termasuk di Jerman Timur dan Barat.
FKK dan Norma Sosial
Norma sosial terkait FKK menekankan hormati ruang pribadi, aturan tempat, dan persetujuan sosial. Misalnya, di banyak sauna umum (Sauna/Wellness), telanjang adalah hal biasa dan aturan standar untuk semua pengunjung, tanpa ada orientasi seksual tertentu.
FKK tidak terjadi sembarangan di ruang publik. Ada area resmi seperti pantai FKK (FKK Strände), taman tertentu, dan klub khusus yang menerapkan aturan tegas demi kenyamanan semua pihak. Di luar area yang diperbolehkan, telanjang publik bisa berkonsekuensi hukum seperti denda atau pelanggaran ketertiban umum.
Kesimpulan
Budaya telanjang di Jerman, khususnya FKK, merupakan fenomena sosial yang terstruktur dan dihormati serta berbeda dari persepsi seksual yang sering dikaitkan dengan telanjang. Ia berakar pada sejarah, kesehatan, dan konsep kebebasan tubuh yang unik dalam masyarakat Jerman. Budaya ini tetap hidup karena adanya pemahaman bersama tentang batas, ruang, dan tujuan dari praktik tersebut.
8 Perancis

Budaya Seks di Prancis: Antara Kebebasan, Seni, dan Privasi
Prancis sering dikenal sebagai negara yang identik dengan romansa, seni, dan kebebasan berekspresi. Dalam konteks budaya seks, Prancis memiliki pendekatan yang relatif terbuka dibandingkan banyak negara lain, namun tetap dibingkai oleh nilai kesopanan, privasi, dan hukum yang jelas. Budaya seks di Prancis tidak semata-mata tentang kebebasan fisik, melainkan juga tentang cara masyarakat memandang hubungan, cinta, dan tubuh manusia secara alami.
Sejak abad ke-18, Prancis telah menjadi pusat pemikiran liberal dan pencerahan. Nilai-nilai ini memengaruhi pandangan masyarakat terhadap seksualitas. Seks tidak dianggap sebagai topik yang sepenuhnya tabu, melainkan bagian dari kehidupan manusia yang dapat dibicarakan secara dewasa. Pendidikan seks di Prancis diperkenalkan sejak usia sekolah, dengan fokus pada kesehatan reproduksi, persetujuan (consent), dan tanggung jawab, bukan sekadar larangan moral.
Dalam kehidupan sosial, masyarakat Prancis cenderung memisahkan antara ranah publik dan privat. Ekspresi seksual jarang dilakukan secara berlebihan di ruang publik, namun di ruang privat, individu memiliki kebebasan untuk mengekspresikan diri sesuai pilihan mereka. Hubungan pranikah bukanlah hal yang dianggap memalukan, dan hidup bersama tanpa menikah (cohabitation) cukup lazim di kalangan pasangan dewasa.
Industri seni dan media di Prancis juga berperan besar dalam membentuk budaya seks. Film, sastra, dan seni rupa Prancis sering menampilkan unsur erotis secara artistik, bukan vulgar. Tubuh manusia dipandang sebagai objek seni, sehingga ketelanjangan dalam film atau galeri seni tidak selalu dikaitkan dengan pornografi, melainkan sebagai bentuk ekspresi estetika dan emosional.
Namun, kebebasan ini tidak berarti tanpa batas. Prancis memiliki regulasi ketat terkait pelecehan seksual, eksploitasi, dan pornografi ilegal. Isu persetujuan sangat ditekankan, terutama setelah meningkatnya kesadaran sosial terhadap hak perempuan dan kelompok rentan. Gerakan sosial modern mendorong diskusi terbuka tentang kesetaraan gender, kekerasan seksual, dan etika dalam hubungan.
Secara keseluruhan, budaya seks di Prancis mencerminkan keseimbangan antara kebebasan individu dan tanggung jawab sosial. Seksualitas dipandang sebagai bagian alami dari kehidupan, namun tetap dijaga dalam kerangka saling menghormati, hukum, dan nilai kemanusiaan. Pendekatan inilah yang membuat Prancis sering dipersepsikan sebagai negara dengan budaya seks yang dewasa, terbuka, namun tetap beradab.
9 Norwegia
Norwegia dikenal sebagai salah satu negara dengan pendekatan paling liberal terhadap seksualitas. Pandangan ini tumbuh seiring dengan kuatnya nilai kebebasan individu, kesetaraan gender, dan kepercayaan pada sistem pendidikan yang komprehensif. Di Norwegia, seksualitas dipandang sebagai bagian alami dari kehidupan manusia yang perlu dipahami secara terbuka, sehat, dan bertanggung jawab, bukan sebagai topik tabu.
Salah satu pilar utama budaya seksualitas liberal di Norwegia adalah pendidikan seks yang menyeluruh. Sejak usia dini, anak-anak diperkenalkan pada pendidikan seks yang tidak hanya membahas aspek biologis, tetapi juga relasi emosional, persetujuan, batasan pribadi, serta rasa saling menghormati. Pendekatan ini bertujuan membentuk individu yang sadar akan hak dan tanggung jawabnya dalam hubungan, sehingga mampu mengambil keputusan secara matang.
Kesetaraan gender memainkan peran penting dalam budaya seksualitas Norwegia. Laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kebebasan yang setara dalam mengekspresikan diri dan menentukan pilihan hidupnya. Norma sosial menolak standar ganda dalam seksualitas, sehingga tidak ada tekanan moral berlebihan yang dibebankan pada satu gender saja. Prinsip ini juga memperkuat pentingnya persetujuan dan rasa hormat dalam setiap hubungan.
Norwegia juga sangat progresif dalam hal keberagaman orientasi seksual dan identitas gender. Hak-hak komunitas LGBTQ+ dilindungi secara hukum, dan pernikahan sesama jenis telah dilegalkan. Penerimaan sosial yang luas memungkinkan individu untuk hidup sesuai identitasnya tanpa rasa takut akan diskriminasi yang sistemik.
Meski budaya seksualitas di Norwegia tergolong liberal, kebebasan tersebut selalu diimbangi dengan tanggung jawab sosial. Pemerintah dan masyarakat aktif mengedukasi tentang kesehatan seksual, pencegahan penyakit menular, serta kesehatan mental. Dengan pendekatan ini, Norwegia berupaya memastikan bahwa keterbukaan seksual berjalan seiring dengan kesejahteraan individu dan masyarakat.
Secara keseluruhan, budaya seksualitas liberal di Norwegia mencerminkan keseimbangan antara kebebasan personal, pendidikan yang kuat, dan nilai tanggung jawab sosial yang tinggi.
10 Spanyol
Budaya Seksualitas Liberal di Spanyol: Kebebasan Ekspresi dan Perubahan Sosial
Spanyol dikenal sebagai salah satu negara Eropa yang memiliki budaya seksualitas relatif liberal dan terbuka. Sikap ini merupakan hasil dari perubahan sosial dan politik yang signifikan sejak akhir abad ke-20, terutama setelah berakhirnya era pemerintahan otoriter. Sejak saat itu, masyarakat Spanyol mengalami transformasi besar dalam cara memandang kebebasan individu, termasuk dalam hal seksualitas dan hubungan personal.
Secara historis, Spanyol pernah berada di bawah pengaruh kuat Gereja Katolik yang membentuk norma sosial konservatif. Seksualitas dipandang sebagai isu privat yang idealnya berada dalam institusi pernikahan. Namun, seiring dengan demokratisasi, modernisasi, dan keterbukaan terhadap budaya global, nilai-nilai tersebut mulai bergeser. Generasi muda, khususnya di kota-kota besar seperti Madrid, Barcelona, dan Valencia, tumbuh dalam lingkungan yang lebih bebas dan inklusif.
Pendidikan seks di Spanyol memainkan peran penting dalam membentuk budaya seksualitas yang liberal. Di banyak wilayah, pendidikan seks mencakup aspek biologis, kesehatan reproduksi, relasi emosional, serta pentingnya persetujuan dan rasa saling menghormati. Pendekatan ini mendorong masyarakat untuk memahami seksualitas sebagai bagian alami dari kehidupan, bukan sebagai sesuatu yang harus disembunyikan atau ditabukan.
Dalam kehidupan sosial, hubungan pranikah diterima secara luas dan tidak menimbulkan stigma sosial yang kuat. Banyak pasangan memilih hidup bersama tanpa menikah, dan pilihan tersebut dianggap sebagai keputusan pribadi. Norma sosial di Spanyol menekankan kebebasan berekspresi, selama tidak melanggar hak dan kenyamanan orang lain. Prinsip ini tercermin dalam budaya sehari-hari yang santai, terbuka, dan komunikatif.
Spanyol juga dikenal sebagai salah satu negara paling progresif dalam hal keberagaman orientasi seksual dan identitas gender. Pernikahan sesama jenis telah dilegalkan sejak lama, dan hak-hak komunitas LGBTQ+ dilindungi secara hukum. Acara budaya dan perayaan publik yang menampilkan keberagaman seksual menjadi bagian dari kehidupan sosial di banyak kota, mencerminkan tingginya tingkat penerimaan masyarakat.
Meskipun budaya seksualitas di Spanyol tergolong liberal, kebebasan ini tetap diimbangi dengan kesadaran akan tanggung jawab. Pemerintah dan organisasi sosial aktif mempromosikan kesehatan seksual, pencegahan penyakit menular, serta perlindungan terhadap kekerasan dan diskriminasi. Diskursus publik terus mendorong keseimbangan antara kebebasan individu dan kesejahteraan sosial.
Secara keseluruhan, budaya seksualitas liberal di Spanyol mencerminkan masyarakat yang menghargai kebebasan, kesetaraan, dan ekspresi diri. Perpaduan antara sejarah, pendidikan, dan keterbukaan sosial menjadikan Spanyol sebagai contoh perubahan budaya yang dinamis dan inklusif di Eropa modern.
11 Inggris

Budaya Seksualitas yang Liberal dan Bebas di Inggris
Budaya seksualitas di Inggris dikenal relatif liberal dan terbuka, terutama jika dibandingkan dengan norma tradisional Eropa pada masa lalu. Perkembangan ini merupakan hasil dari perubahan sosial yang panjang, dipengaruhi oleh modernisasi, revolusi budaya abad ke-20, serta penguatan hak asasi manusia dan kebebasan individu. Seksualitas di Inggris tidak lagi sepenuhnya dipandang sebagai topik tabu, melainkan sebagai bagian dari kehidupan sosial yang sah dan perlu dipahami secara rasional.
Sejak paruh kedua abad ke-20, masyarakat Inggris mengalami pergeseran besar dalam cara memandang hubungan, pernikahan, dan ekspresi seksual. Hubungan pranikah menjadi hal yang umum dan diterima secara sosial, sementara pernikahan tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya kerangka yang sah bagi hubungan intim. Banyak individu dan pasangan memilih hidup bersama tanpa ikatan formal, dan pilihan ini tidak menimbulkan stigma sosial yang kuat.
Keterbukaan seksual di Inggris juga tercermin dalam diskursus publik. Isu-isu seperti kesehatan seksual, persetujuan (consent), relasi setara, dan hak reproduksi dibahas secara terbuka melalui pendidikan, media, dan kebijakan publik. Pendidikan seks di sekolah dirancang komprehensif, mencakup aspek biologis, emosional, dan sosial, dengan penekanan pada tanggung jawab, batasan pribadi, serta rasa saling menghormati.
Budaya seksualitas yang liberal di Inggris sangat berkaitan dengan prinsip kebebasan individu. Setiap orang dianggap memiliki hak untuk menentukan pilihan hidup dan hubungan pribadinya, selama tidak melanggar hukum dan hak orang lain. Norma ini menolak standar moral tunggal dan memberi ruang bagi keberagaman gaya hidup, orientasi seksual, serta identitas gender.
Inggris juga dikenal progresif dalam hal hak LGBTQ+. Pernikahan sesama jenis telah dilegalkan, dan perlindungan hukum terhadap diskriminasi berbasis orientasi seksual terus diperkuat. Penerimaan sosial terhadap keberagaman ini semakin meningkat, terutama di kalangan generasi muda dan masyarakat perkotaan, menjadikan Inggris sebagai salah satu negara Eropa yang inklusif dalam isu seksualitas.
Meski tergolong liberal dan bebas, budaya seksualitas di Inggris tidak lepas dari kerangka hukum dan tanggung jawab sosial. Negara tetap menekankan pentingnya persetujuan, perlindungan dari kekerasan dan eksploitasi, serta kesehatan fisik dan mental. Kampanye kesehatan seksual dan layanan publik yang mudah diakses menunjukkan bahwa kebebasan berjalan berdampingan dengan kesadaran dan edukasi.
Secara keseluruhan, budaya seksualitas yang liberal di Inggris mencerminkan masyarakat modern yang menghargai kebebasan, kesetaraan, dan tanggung jawab. Seksualitas dipandang bukan sebagai hal yang harus disembunyikan, melainkan sebagai bagian dari kehidupan manusia yang layak dipahami secara terbuka dan bermartabat.
12 finlandia

Budaya Seksualitas yang Liberal dan Bebas di Finlandia
Finlandia dikenal sebagai salah satu negara Nordik yang memiliki pandangan liberal dan terbuka terhadap seksualitas. Budaya ini berkembang seiring dengan kuatnya nilai kebebasan individu, kesetaraan gender, serta kepercayaan tinggi terhadap pendidikan dan kesejahteraan sosial. Di Finlandia, seksualitas dipahami sebagai bagian alami dari kehidupan manusia yang perlu dikelola secara sehat, sadar, dan bertanggung jawab, bukan sebagai topik yang harus ditutupi.
Salah satu fondasi utama budaya seksualitas liberal di Finlandia adalah pendidikan seks yang komprehensif. Pendidikan ini telah menjadi bagian dari kurikulum nasional sejak lama dan mencakup tidak hanya aspek biologis, tetapi juga relasi emosional, persetujuan, komunikasi, dan penghormatan terhadap batasan pribadi. Pendekatan ini membantu membentuk masyarakat yang memiliki pemahaman matang tentang seksualitas sejak usia muda, sehingga mampu mengambil keputusan secara rasional dan bertanggung jawab.
Dalam kehidupan sosial, hubungan pranikah diterima secara luas dan tidak dianggap melanggar norma moral. Banyak pasangan memilih hidup bersama tanpa menikah, dan keputusan tersebut dipandang sebagai pilihan pribadi yang sah. Pernikahan tidak lagi menjadi satu-satunya simbol legitimasi hubungan intim, karena yang lebih dihargai adalah kualitas hubungan, kejujuran, dan kesejahteraan bersama.
Kesetaraan gender menjadi elemen penting dalam budaya seksualitas Finlandia. Laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kebebasan yang setara dalam mengekspresikan diri serta menentukan pilihan seksualnya. Tidak ada standar ganda yang membebani salah satu gender, dan prinsip persetujuan menjadi norma yang sangat dijunjung tinggi dalam setiap bentuk hubungan.
Finlandia juga menunjukkan sikap progresif terhadap keberagaman orientasi seksual dan identitas gender. Hak-hak komunitas LGBTQ+ dilindungi oleh hukum, dan pernikahan sesama jenis telah dilegalkan. Penerimaan sosial yang tinggi memungkinkan individu untuk hidup sesuai identitasnya tanpa tekanan sosial yang berlebihan, terutama di lingkungan perkotaan dan generasi muda.
Meskipun budaya seksualitas di Finlandia tergolong liberal dan bebas, kebebasan ini selalu diimbangi dengan tanggung jawab sosial. Pemerintah menyediakan layanan kesehatan seksual yang mudah diakses, kampanye pencegahan penyakit menular, serta dukungan kesehatan mental. Hal ini menunjukkan bahwa keterbukaan seksual tidak dipisahkan dari kepedulian terhadap kesejahteraan individu dan masyarakat.
Secara keseluruhan, budaya seksualitas yang liberal di Finlandia mencerminkan keseimbangan antara kebebasan personal, pendidikan yang kuat, dan nilai tanggung jawab sosial. Pendekatan ini menjadikan Finlandia sebagai contoh masyarakat modern yang memandang seksualitas secara terbuka, sehat, dan bermartabat.

Semua orang telah mengetahui jika negara ini memiliki tradisi seks dari zaman kuno. Dengan iklim Mediterania dan memiliki banyak pulau dan pantai, menjadikan Yunani daftar dalam negara dengan budaya seks paling bebas di dunia.
13 Mexico

Meksiko masuk daftar negara paling horny di urutan ketigabelas, ABG mereka yang terparah hingga pada Mei 2008 pemerintah Mexico mendistribusikan 700.000 eksemplar buku pembelajaran seks kepada semua siswa-siswi di sekolah. Ironisnya, walaupun umumnya prostitusi ilegal di Meksiko, namun di beberapa kota dianggap legal seperti Tijuna.
14 Brazil
Sangat masuk akal jika seks disana adalah hal yang lumrah, sebab Brazil merupakan tanah kelahiran dari "thong". Pantainya selalu dipenuhi wanita-wanita cantik disamping Brasil memiliki Karnaval tahunan dan membuat Brasil masuk dalam daftar.









